BE SMART !!! With “PP IPTEK Science Corner” ……..
Fenomena Ujian Nasional (UN) mulai mencuat dan menghangat di tengah masyarakat ketika bergulirnya standar kelulusan minimal 4,01. Pro kontra menghiasi media dan harian ibukota ketika itu, sebagian besar menyatakan penyesalan dan keberatannya atas keputusan Pemerintah tersebut. “Apakah UN dapat mengukur dan merepresentasikan hasil belajar siswa selama 3 tahun? Apa yang bisa diukur oleh soal-soal ujian yang hanya berjumlah puluhan soal dan dikerjakan selama 120 menit?” Begitu kira-kira ungkapan yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Pemerintah melalui UN memang berusaha mengukur prestasi belajar dan menetapkan standardisasi lulusan berdasarkan kurikulum saat ini. Keinginan ini jelas baik dan wajar-wajar saja. Dengan adanya standardisasi, pemerintah dapat menentukan kebijakan pendidikan nasional, sekolah mana yang perlu dibantu, bantuan apa yang dibutuhkan, dst. Tapi sayangnya, pemerintah terlalu cepat menetapkan UAN sebagai instrumen untuk mengukur prestasi belajar siswa tanpa berusaha memikirkan alternatif solusi yang lain.
Di antara 6 bidang studi yang di UN-kan, matematika merupakan salah satu pelajaran yang menduduki rangking nilai paling buncit. Bidang studi ini memang tidak disukai oleh kebanyakan pelajar. Mereka menganggap matematika rumit dan membosankan karena dipenuhi oleh rumus yang tidak jelas manfaat dan aplikasinya. Hayu Puspitasari, alumni SMAN 5 Bandung, mengaku baru mengerti dan menikmati matematika ketika belajar di AS, saat mengikuti pertukaran pelajar tahun 2004/2005 lalu. Di AS, perhitungan matematika selalu dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, misalnya saat mempelajari vektor. Dalam soal diceritakan tentang perjalanan liburan seseorang ke suatu tempat yang menempuh jarak dan sudut tertentu. Saat itulah, ia baru memahami bahwa vektor sangat berguna dalam pemetaan.
R.K Sembiring dan Iwan Pranoto, penulis buku “Matematika yang menakjubkan” dan salah satu penulis terbaik “buku matematika SD” Pusbuk 2003 menegaskan, soal-soal matematika yang muncul dalam UN, masih menganggap matematika sama dengan berhitung. Padahal, paradigma pembelajaran matematika modern tidak sekedar aritmetika atau berhitung rutin tetapi telah bergeser ke arah proses nalar dan logika berpikir. Zaman sekarang 3R (
Mungkin sudah waktunya pola belajar matematika diubah ke arah yang lebih baik. Sikap guru yang terkesan “killer” juga mesti diganti dengan sikap yang lebih akomodatif dan menyenangkan sehingga “pressure” yang dialami siswa berubah menjadi “enjoy” dalam belajar matematika.
Pola-pola seperti ini coba diterapkan oleh Pusat Peragaan Iptek (PP IPTEK) di Taman Mini Indonesia Indah - Jakarta melalui program “Science Corner”. Program ini memang ditujukan untuk pengunjung anak dan remaja usia sekolah. Mereka bebas memilih permainan matematika yang diinginkan, seperti: membangun menara hanoi, tangram, ring puzzle, sudoku, magic number, berhitung cepat, dst. Tujuan program ini untuk mengenalkan matematika secara mudah, menyenangkan dan tanpa rumus. Sejak diluncurkan Januari 2006 silam, sudah ratusan anak yang mengikuti program ini. Mereka terlihat enjoy dan menikmati permainan. Program ini bisa diikuti oleh pengunjung PP IPTEK secara gratis setiap hari dari Senin hingga Minggu dari jam 9-16 WIB.
Semaraknya kegiatan bernuansa matematika memang diperlukan oleh masyarakat khususnya kalangan pelajar untuk merubah image matematika yang membosankan dan menakutkan menjadi menarik dan menyenangkan. Walaupun belum menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan problematika UN, namun setidaknya mampu menumbuhkan minat anak dan remaja untuk menyenangi matematika, dan siapa tahu… di masa mendatang problematika UN bukan lagi masalah besar bagi bangsa ini. (Supiyan, Staf Pengembangan Program PP IPTEK)
Tidak ada komentar